SAMPANG, SUARABANGSA.co.id — Stigma negatif terhadap tim medis yang menangani pasien meninggal akibat Covid-19 berkembang di masyarakat, khususnya soal pemulasaraan jenazah. Alhasil, banyak warga yang meragukan apakah pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 telah sesuai dengan syariat islam atau tidak?.
Seperti halnya, adanya rekaman suara yang sempat beredar di group-group WhatsApp dengan mengatakan bahwa beberapa jenazah yang terindikasi Covid-19 ini tidak di mandikan dan bahkan pakaian yang dipakai sebelum meninggal pun masih menempel di tubuh si jenazah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sampang, KH Bukhori Maksum mengatakan, bahwa pemulasaraan jenazah pasien terindikasi virus corona telah dilakukan sesuai dengan syariat agama dan protokol kesehatan.
“Pemulasaraan jenazah yang wafat karena virus corona itu telah ditetapkan dalam fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang pedoman pengurusan mayat bagi muslim yang terinfeksi wabah tersebut,” katanya didampingi tim satgas percepatan penanganan Covid-19 dalam konferensi press, Selasa (02/06/2020).
Lebih lanjut KH Bukhori menjelaskan, mengenai substansi fatwa tersebut agar bisa dijadikan pedoman bagi umat Islam terhadap orang yang wafat karena virus corona. Fatwa itu, imbuhnya, menjadi panduan agar petugas yang mengurusi jenazah memastikan kepatuhan agama dan keselamatan jiwa.
“Proses ini harus mengikuti syariat islam, yakni memandikan dengan cara menghilangkan najis yang ada di tubuh jenazah, dan ini tidak harus melepaskan pakaian dari jenazah itu sendiri. Kesalahpahaman seperti inilah yang sudah terjadi, sehingga menimbulkan pro kontra,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, dalam menjalankan pemulasaraan jenazah virus corona, para petugas yang menangani mayat tersebut harus menaati protokol kesehatan dan ketentuan agama.
Beberapa kelonggaran misalnya, papar dia, baju jenazah korban virus corona tidak harus dilepas saat proses memandikan dan jika memungkinkan menggunakan air yang dikucurkan ke seluruh tubuh.
“Tapi jika tidak dimungkinkan, agama memberikan kelonggaran dengan cara ditayamumkan. Tapi jika juga tidak dimungkinkan untuk proses pemandian dan tayamum karena pertimbangan keamanan atau teknis yang lain, maka dimungkinkan atas dasar ad darurah asy syari’ah, kemudian langsung dikafankan,” jelasnya.
Lanjut KH Bukhori, dalam proses pengafanan jenazah virus corona ada ketentuan dengan menutupi seluruh tubuh. Pada saat yang sama juga bisa dilakukan proteksi dengan menggunakan plastik yang tak tembus air. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan proses disinfeksi itu dilakukan secara syariat.
“Setelah itu proses menyalatkan dan dipastikan tempat yang dilaksanakan untuk kepentingan sholat itu suci serta aman dari proses penularan. Sholat ini tidak harus di rumah duka, di rumah sakit pun boleh dan dilaksanakan oleh minimal satu orang muslim karena ini soal kewajiban yang bersifat kifayah,” ujarnya.
Menurutnya, meski kekhawatiran dan kewaspadaan penting, tetapi harus dibarengi dengan pengetahuan yang memadai. Hal itu untuk menghindari jangan sampai kekhawatiran akibat kurangnya pengetahuan justru menambah resah di masyarakat.
“Kesalahpahaman ini kedepannya tidak boleh terjadi, nanti kami akan sosialisasi kepada masyarakat, pesantren dan juga tokoh agama agar sama-sama mengerti dan memahami,” tandasnya.