BOJONEGORO, SUARABANGSA.co.id – Sekitar 272 Menara tower telekomunikasi yang berdiri di Bojonegoro ternyata lagi-lagi tidak mengindahkan aturan regulasi yang ada di Bojonegoro.
Dan ada dugaan tangan-tangan hitam bermain dibawah meja di menjelang masa transisi dipurna kekuasaan di Bojonegoro, serta ada juga dugaan tangan-tangan hitam yang memanfaatkankan dimasa transisi demi mendapatkan jabatan, serta bisa memanfaatkan masa-masa Pemerintahan baru di Bojonegoro, demi mempertahan kan Modus operandi yang tak lazim bagi pemerintahan yang di harapkan presiden Prabowo yang bebas dan bersih dari praktik-praktik kotor, Korupsi dan Nepotisme.
Carut marut selama empat tahun lebih terkait pendirian tiang fiber optic dan pendirian Menara bersama, saat di temukan beberapa kejangalan terkait Perizinan Base Transceiver Station (BTS) yang Bodong dan semi berizin dan Perusahaan tetap beroperasi di Bojonegoro dan hal tersebut seakan sudah biasa terjadi, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait pun mulai berkelit dan bungkam demi mengalihkan perhatian serta menghindar dari keterbukaan informasi yang diharapkan oleh semua pihak, Hari Rabu 25 Juni 2025, Bojonegoro Provinsi Jawa timur.
Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP Bojonegoro , selaku Penegak Perda Lewat Yopi Pratama W selaku Kabid penegakan perda Klarifikasi ke Awak media SUARABANGSA.co.id mengatakan dengan ada nya tower Base Transceiver Station (BTS) yang tak berizin.
Menurut nya, Peraturan Bupati (Perbup) nomor 40/2020 terkait tersebut telah mengatur tentang penyelenggaraan menara telekomunikasi di kabupaten Bojonegoro, memang di sana disebutkan bahwa setiap menara telekomunikasi itu harus berizin, apabila administrasi yang diterapkan itu dilangar yang pertama adalah peringatan, 1 ,2 ,3 itu diluncurkan dari PTSP, dan bila memang tidak di indahkan maka dilakukan penyegelan sementara, serta penghentian sementara.
“Kemudian ada lagi yang namanya penghentian sementara atau penutupan sementara,kegiatan itu yang mengeluarkan adalah yang melaksanakan adalah dari OPD pengawas bangunan dan pengawas bangunan itu adalah DPU Cipta Karya dan DPTSP,” terangnya.
Lanjutnya, apabila OPD terkait apabila tidak diindahkan maka ada yang namanya pencabutan izin dilaksanakan oleh Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu(DPTSP), Kemudian setelah itu nanti tidak diindahkan juga tetap dia beroperasi maka akan ada pembongkaran, pembongkaran ini yang pertama dilakukan oleh pemilik dengan surat pemberitahuan untuk dibongkar dari PMK, setelah itu tidak diundangkan (red: di cabut izinnya), maka ada pembongkaran paksa yang dilakukan oleh 0PD pengawas bangunan, Satpol PP dalam hal ini hanya mengamankan setiap kegiatan tersebut.
“Dari Pelaksanaan Perbup 40/2020 adalah peringatan, sebagai peringatan tertulis jangka waktu 14, 15 hari, dari pelaksanaan pasal 27 posisinya Satpoll PP hanya mengamankan kegiatan beliaunya,” terangnya.
Saat disingung terkait Pelayanan Satpol PP dari tingkat kecamatan sampai Kabupaten, dan apakah Bupati juga mengetahui terkait tim-tim tersebut dan yang dilakukan Satpol PP, dan saat disingung terkait pengusaha baru mengurus Permohonan Kerangka Rancangan Kota (KRK), dan terbitlah Informasi Tata Ruang (ITR), pengusaha tersebut belum mendapat kan Persetujuan Bangunan Gedung(PBG)nya sudah melakukan berusaha serta
Produksi, apa yang dilakukan Satpoll PP.
Yopi menjelaskan, dalam klarifikasi dari hulu sampai hilir masih mendalami, di Perijinan (PTSP) dan DPU Cipta Karya, apakah itu berkas-berkas yang sudah masuk, apakah bisa diterbitkan izin.
Imbuhnya, biasanya berkas masuk itukan ada verifikasi, di sana lahannya yang dipakai lahan apa, kemudian jarak antara tower dengan rumah berapa, ketika kita harus menghentikan sesuatu kegiatan kita harus berkoordinasi dengan tim-tim pengawas dan DPTSP, dan memang selama ini belum ada feedback-nya.
“Kalau sudah didelegasikan melalui tim ya Otomatis itu ada, ya selama ini belum ada fedbacknya, dari Pu cipta karya mau pun DPTSP,” pungkasnya.
Sampai berita ini diunggah Kepala Dinas PU Cipta Karya masih engan berkomentar.
Penulis : Takim
Editor : Putri