Penulis : Moh Hayat*
Pemilihan umum atau yang biasa dikenal dengan pemilu merupakan sarana suksesi kepemimpinan atau penentuan jabatan tertentu dalam kekuasaan negara. Dalam tatanan negara demokrasi, pemilu masih dianggap sangat penting sebagai sarana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, jujur, bebas dan adil. Sehingga, bisa melahirkan transfer kekuasaan politik sesuai kehendak dan mandat rakyat.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang menganut demokrasi juga secara rutin melaksanakan pemilu, sebagai bagian dari sarana aspirasi rakyat. Tahun depan, pemilu juga akan digelar serentak, mulai dari pemilihan legislatif (pileg), presiden (pilpres) hingga suksesi sejumlah kepala daerah (pilkada). Hal ini akan menjadi ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam suksesi kekuasaan itu sendiri.
Sebenarnya, kompetesi politik sudah sangat terasa sejak 2023 ini. Sebab, kontestan politik sudah ditetapkan oleh KPU. Di mana terdapat 17 partai politik yang akan berkompetisi pada putaran pileg Februari 2024 mendatang. Tak hanya parpol, KPU juga sudah menerima pendaftaran bakan calon legislatif (bacaleg) mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi hingga DPR RI. Saat ini masih dalam tahap verifikasi berkas terhadap para kandidat wakil rakyat itu.
Dengan munculnya kontestan politik, parpol maupun para bacaleg tentu saja sudah mulai start melakukan komunikasi politik dengan masyarakat, baik secara langsung maupun dengan online. Komunikasi langsung dilakukan dengan cara bertatap muka, berdialog dan berdiskusi dengan warga. Sementara online biasanya dilakukan melalui media sosial, termasuk juga memasang banner, pamflet. Hal ini dilakukan untuk memasarkan parpol maupun figur yang akan bertarung dalam pemilu nanti.
Komitmen Taat Hukum
Kontestasi politik 2024 harus bisa dipastikan berjalan secara bebas dan fair (free and fair). Pun, bisa berlangsung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya pada kontestan politik, melainkan juga kepada penyelenggara. Semua stakeholder pemilu harus mematuhi aturan main sebagaimana sudah diatur dalam Undang-undang pemilu. Sehingga, pemilu bisa berlangsung secara aman, damai dan demokratis.
Kontestan politik, baik parpol, aktor ataupun perseorangan -sebut bacaleg- harus mengikuti aturan main (the rule game) yang sudah ditetapkan. Tidak menggunakan berbagai cara untuk bisa menghadirkan kemenangan. Tidak saling menjatuhkan antara kontestan, melainkan menampilkan, pemikiran, gagasan, ide yang visioner. Menurut Jack Ma, pebisnis asal Tiongkok, pemimpin berkualitas itu lantaran berpikir visioner dan memiliki pandangan ke depan.
Diakui, dalam pertarungan politik seringkali menggunakan banyak cara untuk bisa bertahan dan menang. Cara yang sering digunakan salah satunya menggunakan cara hoax, atau dengan menggunakan politik uang (money politik). Baik dalam pemberian uang kepada pribadi (individual gift), pembelian suara (vote buying) maupun dalam bentuk pelayanan dan aktifitas (service and activities).
Politik uang sering digunakan dalam setiap pemilu untuk memobilisasi massa dan memengaruhi pilihannya. Padahal, cara itu jelas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan melanggar UU nomor 7/2017 tentang pemilu, yakni di pasal 523 ayat 1 sampai dengan 3. Dalam aturan itu jelas jika politik uang sangat dilarang, mulai dari masa kampanye, hari tenang hingga pada pemungutan suara. Dan, jika dilakukan maka dipastikan dikenakan sanksi pidana dan denda.
Oleh karenanya, harus disadari oleh kontestan bahwa pelaksanaan pemilu itu harus dilakukan secara benar. Dan, tidak menggunakan cara yang tidak “dihalalkan” dalam pelaksanaan pemilu. Otomatis, seluruh kontestan politik harus taat hukum. Yang paling utamanya dalam pelaksanaan pemilu itu memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaanya. Harapannya, kecurangan pemilu bisa diminimalisir.
Ketaatan terhadap aturan itu juga berlaku pada penyelenggaran pemilu. Pemahaman terhadap regulasi harus ditingkatkan. Sehingga, penyelenggara pemilu tentu harus harus bersikap professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pun, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Tidak hanya itu, patuh terhadap kode etik juga menjadi keharusan penyelenggara.
Fenomena ini bisa terjadi apabila penyelenggara bisa berjalan berirama. KPU dan Bawaslu bisa berjalan sesuai dengan tupoksinya dan selalu melakukan sinergi. Sementara DKPP memonitor dan tidak setengah hati dalam melaksanakan aturan jika ada aduan dari masyarakat berkaitan dengan penyelenggara yang mengarah kepada pelanggaran kode etik. Sebab, harapan masyarakat pemilu berjalan demokratis dan terbuka.
Meningkatkan Partisipasi
Tingginya partisipasi politik menjadi tolok ukur pemilu berkualitas. Sebab, pemilu adalah kedaulatan rakyat. Sehingga, semakin tinggi partisipasi masyarakat maka semakin baik kualitas pelaksanaanya. Setidaknya, partisipasi masyarakat untuk menentukan pilihannya di pemilu 2024 mendatang bisa mencapai di atas 90 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh KPU secara nasional.
Sebab, partisipasi pemilih di pemilu 2019 lalu secara nasional hanya di bawah 90 persen, meski sudah terbilang membaik. Tahun 2019 lalu, masyarakat yang menggunakan hak pilihnya mencapai 81 persen, yakni sekitar 158.012.506 dari jumlah DPRD sebanyak 199.987.870 orang. Jadi, warga yang tidak berpartisipasi masih terbilang cukup tinggi, yakni sekitar 19 persen. Nah, fakta tersebut menjadi pekerjaan rumah untuk semakin ditingkatkan di 2024 mendatang. Yakni, bisa mencapai angka di atas 90 persen.
Tentu saja, bukan perkara mudah. Namun, dengan jangka waktu yang masih cukup panjang, sosialiasi maksimal bisa dilakukan. Bahkan, dengan perangkat penyelenggara yang sampai di tingkat desa masih memungkinkan untuk melakukan pola door to door dari rumah ke rumah akan pentingnya memberikan hak pilihnya.. Seruan anti golput hendaknya juga terus dilakukan oleh penyelenggara kepada masyarakat. Dan cara legal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, seperti memperbanyak tim relawan.
Ingat!, pemilu ini adalah kedaulatan rakyat. Maka, semakin tinggi tingkat partisipasinya maka dipastikan semakin berkualitas. Pemimpin dihasilkan dalam pemilu tentu saja merupakan representasi dari rakyat. Bahkan, dalam istilah hukum politik dikenal dengan vox populi vox dei yang dimunculkan pada awal demokrasi modern sejak revolusi perancis; yakni suara rakyat adalah suara Tuhan.
Pada konteks lain, partisipasi politik juga dipahami agar masyarakat ambil bagian dalam mengontrol jalannya demokrasi, dan memastikan pemilu yang digelar berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga, hasil dari pelaksanaannya nanti bisa dikatakan berkualitas dan berintegritas.
*Penulis adalah jurnalis di Sumenep