Oleh M. Mochtar Masod
Praktisi Pemberdayaan Masyarakat
Emile Durkheim
Pembagian Kerja –
Pembentukan pekerjaan tertentu untuk orang-orang tertentu menguntungkan masyarakat karena hal itu meningkatkan kapasitas reproduksi suatu proses dan keahlian para pekerja. Ini juga menciptakan perasaan solidaritas di antara orang-orang yang berbagi pekerjaan tersebut. Tetapi, kata Durkheim, pembagian kerja melampaui kepentingan ekonomi: Dalam prosesnya, ia juga membangun tatanan sosial dan moral dalam suatu masyarakat. “pembagian kerja hanya dapat dilakukan di antara anggota masyarakat yang sudah terbentuk,” katanya. Bagi Durkheim, pembagian kerja berbanding lurus dengan dinamika atau kepadatan moral suatu masyarakat. Ini didefinisikan sebagai kombinasi dari konsentrasi orang dan jumlah sosialisasi suatu kelompok atau masyarakat.
Pada temuan lapangan menunjukkan bahwa pembagian kerja disesuaikan dengan kepuasan atasan yang menafikan keahlian dosen dan proses akademik. Dan ini yang menciptakan solidaritas akademik “semu”. Pembagian kerja yang terlalu dini dipaksa-kan atau memang ada motif lain pembelajaran prodi disalah satu prodi rumpun ilmu sosial harus diambil dari prodi lainnya yang membuat rancunya aktifitas akademik satu kampus. Temuan selanjutnya ialah dinamika atau kepadatan moral masyarakat kampus yang tidak porposional. Yang tidak mengindahkan konsentrasi keilmuan dan sebaran dosen-karyawan.
Kepadatan Dinamis –
Kepadatan dapat terjadi dalam tiga cara:
1. Melalui peningkatan konsentrasi spasial orang
2.Melalui pertumbuhan kota
3. Melalui peningkatan jumlah dan kemanjuran sarana komunikasi
Ketika satu atau lebih dari hal-hal ini terjadi, kata Durkheim, tenaga kerja mulai terbagi dan pekerjaan menjadi lebih terspesialisasi. Pada saat yang sama, karena tugas tumbuh lebih kompleks, perjuangan untuk keberadaan yang bermakna menjadi lebih berat.
Pada temuan lapangan menunjukkan kepadatan dinamis di Kampus X di Madiun baik peningkatan spasial orang, pertumbuhan kampus dan peningkatan sarpras terbanding kebalik dan dirasa dipaksa dan manipulatif. Dari 20 dosen disalah satu prodi rumpun ilmu sosial yang ada di PDDIKTI hanya 5 orang saja yang beraktivitas, sedangkan 15 dosen lainnya tidak dipanggil (termasuk 1 doktor, 1 sedang progress menuju ujian tertutup) – ada yang dipaksa keluar dan keluar karena tidak tahan akan bulliying & intimidasi yang dilakukan pimpinan. Pimpinan Kampus X di Madiun menghendaki dosen – karyawan yang mengikuti dan tunduk-patuh. Ini menciderai kebebasan akademis yang telah ada dan dlindungi Undang-Undang.
Solidaritas Sosial –
Durkheim berpendapat bahwa ada dua jenis solidaritas sosial: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanis menghubungkan individu dengan masyarakat tanpa perantara. Artinya, masyarakat diorganisir secara kolektif dan semua anggota kelompok berbagi tugas dan keyakinan inti yang sama. Apa yang mengikat individu dengan masyarakat adalah apa yang disebut Durkheim sebagai ” kesadaran kolektif “, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “hati nurani kolektif”, yang berarti sistem kepercayaan bersama. Berkenaan dengan solidaritas organik, di sisi lain, masyarakat lebih komplekssebuah sistem dari berbagai fungsi yang disatukan oleh hubungan-hubungan tertentu. Setiap individu harus memiliki pekerjaan atau tugas yang berbeda dan kepribadian yang mereka miliki.
Solidaritas mekanis yang ada di Kampus X di Madiun memang terjadi hubungan individu dengan antar civitas akademika tanpa perantara. Namun itu hanya topeng untuk diorganisir dunia kampus secara kolektif dan semua anggota yang patuh berbagi tugas dan keyakinan yang sama agar tidak jadi bulan-bulanan bulliying. Apa yang mengikat individu bagian dari cievitas akademika adalah apa yang disebut Durkheim sebagai ” kesadaran kolektif ” – tapi bohong, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “hati nurani kolektif” yang dipaksa untuk tidak baik, yang berarti sistem kepercayaan Bersama dilakukan hingga dewasa ini.
Durkheim berkata, “Individu berkorban untuk mempertahankan eksistensi dan solidaritas suatu kelompok”. Pengorbanan individu yang terpaksa ini baik dari dosen-karyawan di Kampus X di Madiun dilakukan untuk mempertahankan eksistensi dan solidaritas kelompok preman yang berbaju dosen. Semua yang dilakukan tidak ada program krerja, evaluasi secara berkala dan lain sebagainya.
A. Richard & F. Elwood
Sumber Daya Manusia (SDM) kampus –
Salah satu masalah yang menarik untuk dikaji saat ini adalah mengenai rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas merupakan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan setiap organisasi. Produktivitas kerja yang rendah akan mempengaruhi mutu organisasi, karena produktivitas kerja digunakan untuk mengukur hasil kualitas sumber daya yang dimiliki organisasi pada suatu pekerjaan tertentu sekaligus untuk mengetahui tingkat kesesuaian dengan kebutuhan sumber daya manusia.
Kasanuddin (2011:18) mengatakan bahwa indikator dari kualitas sumber daya manusia adalah sebagai berikut: a) Kualitas intelektual meliputi pengetahuan dan keterampilan), b) Pendidikan, c) Memahami bidangnya, d) Kemampuan, e) Semangat kerja dan f) Kemampuan perencanaan pengorganisasian.
Kampus X di Madiun menafikan produktivitas sebuah perguruan tinggi. Apa yang terjadi produktivitas rendah sangat mempengaruhi mutu kampus yang terkenal santuy dan nongkrong. Pengukuran hasil sumber daya yang dimiliki kampus dibuat secara fiktif akan tingkat kesesuaian dengan kebutuhan SDM itu sendiri. Temuan lainnya yang dikatakan Kasanuddin (2011:18) fatamorgana semata baik: a) Kualitas intelektual meliputi pengetahuan dan keterampilan yang nihil, b) Pendidikan yang kacau dosen rumpun Ilmu Eksakta mengajar rumpun Ilmu Sosial , c) Tidak memahami bidangnya, d) minimnya Kemampuan, e) Tidak ada Semangat kerja maupun f) Nihilnya kemampuan perencanaan pengorganisasian.
Peter Flemming
Sisi gelap kampus dari delapan fenomena yang ditulis Fleming:
1. Elitis. Kampus menjadi elitis sehingga jauh dari masyarakat. Di Indonesia para peneliti dan dosen jauh dari memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menciptakan inovasi yang menyelesaikan problem-problem orang banyak. Masyarakat akan mmenggugat elitisme ini jika peneliti ingin selalu berada di posisi paling atas.
2. Pabrik pengetahuan. Kampus menjadi semacam pabrik ilmu pengetahuan. Di Indonesia cirinya adalah kinerja akademisi diukur melalui indeks kinerja utama sehingga penelitian menjadi semacam produksi barang.
3. Birokrasi kampus. Universitas terjebak pada umumnya organisasi, yakni pengelolaan secara birokratis. Alih-alih menjawab problem di masyarakat, para ilmuwan sibuk mengejar angkat kredit untuk memenuhi syarat-syarat birokrasi.
4. Angka kredit. Capaian kinerja diukur melalui angka-angka yang wajib dipenuhi para dosen. Jumlah publikasi dan kepangkatan menjadi yang utama, bukan pada isi yang berguna bagi orang banyak.
5. Homo academicus. Ada gejala kompleksitas gejala mental para dosen akibat kurang bergaul, kesepian, stres, dan kesehatan mental lainnya akibat fokus meneliti dan memenuhi birokrasi kampus. Di Indonesia gejala ini belum terlalu menonjol.
6. Kontrol negara. Tak ada lagi kebebasan akademik karena negara terlalu turut campur dalam menentukan kebijakan-kebijakan akademis, hingga penentuan pejabat kampus. Kontrol lain melalui pengawasan akademik melalui angka-angka yang harus dipenuhi para dosen.
7. Selebritas akademik. Ini semacam sindrom popularitas dosen yang berbentuk cara mereka mengasongkan diri dan pendapat dari forum ke forum. Di Indonesia, fenomenanya lebih parah karena mengasong itu sebagai cara mendapatkan penghasilan tambahan.
8. Krisis keuangan mahasiswa. Di negara barat fenomena ini jamak karena untuk sekolah mahasiswa meminjam kredit ke bank akibat tuntutan pembayaran kampus yang besar. Di Indonesia, fenomena ini belum terlalu parah meski ada beberapa kejadian orang tua mahasiswa berutang banyak dan terjerat rentenir akibat tak mampu memenuhi uang pangkal atau SPP anaknya.
Yang dinyatakan oleh Flaming 8 indikator diatas, terindikasi terjadi dan ironi untuk dunia pendidikan tinggi yang menjunjung tinggi yang sangat kosong budaya akademiknya namun suka pamer (selebritas), pabrik cuan bagi segelintir elit bukan pabrik pengetahuan yang mencerdaskan bangsa, tata kelola yang semrawut, angka kredit yang ilusi karena mahasiswa yang hadir tiap perkuliahan bisa dihitung dengan jari dari absensi yang mencapai puluhan, sangat Homo academicus yang fatamorgana, pimpinan yang otoriter, dan tata kelola uang mahasiswa yang tidak profesional dan tidak amanah.
Kacaunya Tata Kelola Kampus X Madiun dengan pendekatan Emile Durkheim, dikomparasikan dengan Teori SDM-nya A. Richard & F. Elwood serta Peter Flemming dengan Dark Academia: How Universities Die menunjukkan bahwa yang terjadi di kampus sudah memasuki stadium 4 yang telah menahun, dibiarkan dan bahkan sebagian mahasiswa sebenernya sudah merasakan ketidakjelasan kampus namun mereka sudah terlanjur terdoktrin oleh pimpinan sehingga itu kemudian menjadi semacam episteme kata Foucault. Menjadi keprihatinan bersama pemangku kebijakan dan harus segera dilakukan langkah reformasi total untuk menyelamatkan kampus tersebut.
NB : Redaksi tidak bertanggungjawab atas isi opini, isi opini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis