BOJONEGORO, SUARABANGSA.co.id – Isu penolakan Peraturan Bupati nomer 15/2022 terkait gaji dan tunjangan (Siltap) Perangkat Desa dan Kepala Desa itu terus menjadi kasak kusuk di internal pemerintahan desa.
Anam Wasito selaku Kepala Desa Wotan kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro mengatakan bahwa pihaknya juga sudah mendengar dan paham terkait ribut ribut beberapa perangkat desa dan kepala desa terkait diterbitkannya Perbup nomer 15/2022, hal tersebut menurut Anam Warsito salah alamat.
Karena secara subtansi turunan perbup nomer 15/2022 itu dari Permendagri.
“Saya pikir tidak ada persoalan perbup Siltap itu, artinya perbup itu sudah baik, kalau ngomong terkait temen temen yang kemarin ribut riak riak penolakan perbup Siltap nomer 15/2022, itu saya pikir salah alamat dan perlu diluruskan persepsinya,” ungkapnya.
Lanjutnya, pokok persoalan sebenarnya bukan pada perbub nomor 15 tahun 2022 Namun persoalan itu merupakan turunan masalah dari Permendagri yang mengatur Alokasi Dana Desa (ADD) yang mengatur tiga puluh persen untuk pemerintahan dan tujuh puluh persen untuk pembangunan.
Porsi tiga puluh persen itulah yang membatasi keinginan para perangkat desa untuk mendapat siltap dan undangan yang tinggi. Karena jika dinaikan pasti akan melampaui tiga puluh persen batas
Maksimal pengelolaan ADD.
Mantan aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Jember (UNEJ) tersebut menegaskan yang perlu direvisi adalah Permendagri yang mengatur pengelolaan ADD tersebut.
“Artinya, yang mengatur terkait siltap itu persoalanya tidak di perbup nya tapi pada permendagri yang mengatur pengelolaan ADD tersebut yaitu yang limit tiga puluh persen untuk pemerintahan desa dan tujuh puluh persen untuk pembangunan,” ungkapnya.
Menurutnya, idealnya terkait limit Siltap tersebut adalah empat puluh enam puluh itu lebih longgar, dan yang perlu direvisi adalah Permendagri. Menurut Lelaki yang akrab dipangil Anam tersebut Karena tiga puluh tujuh puluh itu dilakukan oleh perangkat desa dan kepala desa itu masih kurang.
“Meskipun tiga puluh tujuh puluh itu kita gunakan, siltap kita tetap men dan kurang, kalau ingin merevisi ya di permendagri misalkan empat puluh enam puluh, itu lebih longgar,” ungkapnya.
Namun hal tersebut, menurut Anam akan menjadi persoalan beda lagi dengan Masyarakat kurang simpati kepada Kepala Desa dan perangkat Desa dalam situasi pandemi ini, perangkat desa dan kepala desa akan diangap memikirkan perutnya sendiri.
“Kalau itu dilakukan pasti masyarakat kurang bersimpati dengan perangkat desa, sebab dalam pandemi perangkat desa diangap memikirkan perutnya sendiri, jadi tak perlu lah ribut ribut terkait perbup itu, karena persoalanya tidak di perbup, tapi di permendagri yang mengatur tiga puluh tujuh puluh itu,” pungkasnya.