SAMPANG, SUARABANGSA.co.id — Banyak cara yang bisa dilakukan untuk tetap bertahan hidup ditengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19. Di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, misalnya, makin banyak orang banting profesi menjadi pengamen boneka atau manusia badut.
Tak hanya manusia badut, para pengemis dan pengamen juga semakin menjamur di kota Bahari. Tidak hanya beroperasi di lampu merah, sebagian dari mereka juga ada yang berkeliling untuk meminta-minta belaskasih masyarakat.
Mereka mudah ditemukan hampir di titi-titik traffic lights diwilayah Kabupaten Sampang. Biasanya para badut itu mencoba menghibur orang untuk bisa mendapatkan uang.
Namun, dibalik keriangannya, ada duka tersembunyi dalam kostum badut jalanan. Mereka harus tetap kuat demi bisa menyambung nyawa keluarga.
Dengan keringat bercucuran dan napas yang tersengal-sengal karena mulai dari kepala hingga ujung kaki tertutup dengan kostum, badut jalanan ini berjibaku di bawah teriknya matahari dan udara berpolusi.
Lengkap dengan kaleng yang sudah disiapkannya, Herman (51), dengan kostum yang lumayan berat, menghampiri tiap kendaraan yang sudah mengantre di lampu lalu lintas, berharap mendapatkan uang berapapun jumlahnya.
Ia berkeliling mengharap uang dari tiap pengendara. Kadang ada yang memberinya Rp2.000 – Rp5.000, bahkan tak jarang hanya lambaian tangan dan banyak yang tak memberi respons dengan kaca tertutup.
Menggunakan setelan ‘Boneka Mickey Mouse’ warna dominasi merah, Herman nampak menggoyang-goyangkan pantatnya diiringi musik dangdut koplo, sambil sesekali menyorongkan satu wadah kecil, minta belas kasian dari setiap uang recehan yang dilemparkan para pengguna jalan.
“Ya, sekarang cari kerjaan susah pak. Mungkin jalan satu-satunya untuk bertahan hidup dengan cara seperti ini,” ujarnya saat ditemui kontributor suarabangsa.co.id, di lampu merah Duwek Pote, Selasa (30/11/2021).
Sambil memutar musik dari sebuah tape recorder dan speaker portable mereka berjoget di depan antrean kendaraan yang menunggu lampu hijau.
Begitu lampu lalin menjadi warna hijau, kembali ia duduk, lalu membuka kostum boneka bagian kepala, untuk sekedar menghirup udara segar sambil menunggu lampu rambu berubah kembali berwarna merah.
“Yang sedih itu kalau ga dihirauin. Mending ditolak, dikasih kode gitu tapi kalau mereka diam aja, kami jadi bingung. Ada juga yang ngasih tapi dengan pandangan hina dan sinis. Sudah biasa. Saya harus ikhlas,” aku Herman di sela kisahnya.
Menurut Herman, jalan hidup menjadi pengamen boneka bukanlah impian yang diharapkan, namun kerasnya menjalani hidup, terutama akibat desakan ekonomi selama pandemi, bapak lima anak ini rela turun ke jalan untuk memenuhi kebutuhan.
“Lumayanlah buat nyambung-nyambung agar dapur tetap ngebul. Jika ada peluang usaha yang lebih baik saya mau jalani, tapi saat ini sepertinya mau jalani ini (pengamen boneka) dulu,” pungkasnya, sambil tersenyum ramah, sesaat setelah kepala boneka yang ia gunakan sengaja dibuka.