SAMPANG, SUARABANGSA.co.id — Kehadiran minimarket atau toko modern dengan strategi menjemput bola, menyebabkan eksistensinya tumbuh menjamur di mana-mana. Bila tidak ditata, akan terjadi kanibalisme dan oligopoly.
Data yang dihimpun suarabangsa.co.id, pada tahun 2020 saja tercatat ada 130 unit minimarket atau ritel modern di bumi Bahari sehingga patut diduga keberadaannya tidak sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2013 Pasal 8 tentang Penataan dan Pengendalian Pasar Modern.
Merespon terkait itu, salah satu pemerhati ekonomi kerakyatan Agus Husnul Yakin menilai, meskipun bukan pihak yang mengatur soal perizinan, seharusnya Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Pertambangan (Disperindagtam) melakukan kajian terkait makin menjamurnya minimarket. Di sisi lain, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) diminta tidak merta mengeluarkan perizinan.
“Dua dinas itu yang harus bertanggung jawab. Jangan terlalu mudah memberi ijin dengan menabrak aturan yang ada baik perda maupun perbub. Juga harus dilihat kondisi lingkungannya dalam rangka menata serta mengatur jarak keberadaan minimarket itu,” ungkapnya, Sabtu (20/03/2021).
Politisi asal Partai PBB itu menilai menjamurnya kegiatan usaha minimarket di Sampang sudah berlangsung lama. Ironinya belum ada tindakan tegas terkait pengawasan dan pengendalian toko modern tersebut.
“Harus ada regulasi yang jelas. Aturan itu kan untuk membatasi maraknya toko modern, apalagi menyangkut kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar,” tuturnya.
Ia mengatakan, keberadaan minimarket yang diduga tidak sesuai perda nomor 7 tahun 2013 mau tak mau mematikan usaha kelontong milik masyarakat. Karena itu, minimarket harus dibatasi dan Pemerintah Kabupaten Sampang harus melindungi juga usaha milik masyarakatnya.
“Banyak toko kelontong yang akhirnya tutup karena tak terkontrolnya jumlah dan keberadaan minimarket,” pungkas pria yang juga anggota Komisi II DPRD Sampang itu.